materi diskusi Hadits Ekonomi “HAWALAH”

 

 

 

 

 

DISKUSI

HIWALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah    : Hadis Ekonomi

Dosen              : Dr.Bambang Iswanto,M.H.J

 

 

 

 

Didiskusikan Oleh :

  1. Tahuri
  2. Risva
  3. Endra Laksmana
  4. Nurliati

 

 

 

 

 

Kelas D2

Weekend

 

 

 

JURUSAN EKONOMI SYARI’AH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)

SANGATTA

2014

 

 

 

HAWALAH (PENGALIHAN HUTANG)

 

  1. Pengertian

Menurut bahasa, yang dimaksud dengan hiwalah ialah al-intiqal dan al-tahwil artinya ialah memindahkan atau mengoperkan.

menurut bahasa di atas, dapat kita ketahui bahwa hiwalah menurut bahasa itu memindahkan atau mengoperkan jika dilihat dari arti kata لإنتقال sedangkan jika kata hawalah yang mana huruf ha’ nya dibaca fathah dan kasroh maka artinya mengalihkan.

Maka Abdurrahman al-Jaziri, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa ialah:

النّقل من محلّ إلى محل

Artinya: “Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain.”[1]

 

pengertian hiwalah jika ditinjau dalam artian bahasa artinya memindahkan atau mengalihkan.

Sedangkan pengertian hiwalah menurut istilah adalah hiwalah adalah perpindahan hak membayar hutang dalam transaksi hutang piutang.

Hiwalah adalah memindahkan tuntunan atas utang dari tanggungan yang berutang ( mudin) kepada tanggungan multazim

Menurut Sayid sabiq yang dimaksud dengan hiwalah :

“hiwalah adalah pemindahan utang dari tanggungan orang yang memindahkan ( al muhil ) kepada tanggungan orang yang di pindahiutang ( muhal alaih)”[2]

 

 

  1. Dasar Hukum Hiwalah

Hiwalah merupakan suatu akad yang dibolehkan oleh syara’ karena dibutuhkan oleh  masyarakat.hal ini didasarkan pada hadis nabi yang diriwayatkan dari abu hurairah bahwa rasul saw bersabda

 مطل الغنيُ ظلم, وإذاأتبع احدكم على ملئ فليتبع

Artinya

Menunda – nunda pembayaran  oleh orang kaya adalah penganiayaan, dan apabila salah seorang diantara kamu di ikutkan ( dipindahkan) kepada orang yang mampu maka ikutilah ( HR bukhori dan mislim)

 

Akad hiwalah diperbolehkan berdasarkan sunnah dan ijma’ ulama’. Diriwayatkan dari Imam Bukhari dari Abu Hurairah,

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ ابْنِ ذَكْوَانَ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَمَنْ أُتْبِعَ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتَّبِعْ

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Ibnu Dzakwan dari Al A’raj dari Abu Hurairah radliallohu ‘anhu dari Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Menunda membayar hutang bagi orang kaya adalah kezhaliman dan apabila seorang dari kalian hutangnya dialihkan kepada orang kaya, hendaklah ia ikuti”.

Pada hadits tersebut, Rasulullah memberitahukan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang menghawalahkan kepada orang yang mampu, hendaklah ia menerima hawalah tersebut, dan hendaklah ia menagih kepada orang yang dihawalahkan. Dengan demikian haknya dapat terpenuhi. Ulama’ sepakat membolehkan akad hawalah dengan catatan, hawalah dilakukan atas hutang yang tidak berbentuk barang atau benda, karena hawalah adalah proses pemindahan hutang bukan pemindahan bendah.

Dalam hadis tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar pemberi utang apabila diminta oleh pengutangnya menagih kepada orang yang mampu hendaknya menerima hiwalahnya, yakni hendaknya ia meminta haknya kepada orang yang dihiwalahkan kepadanya sampai haknya terpenuhi. Tetapi jika pengutang memindahkan utangnya kepada orang yang bangkrut, maka si pemberi pinjaman berhak mengalihkan penagihan kepada si pengutang pertama.

Perintah menerima pengalihan penagihan utang menurut sebagian ulama adalah wajib, namun jumhur ulama berpendapat bahwa hukumnya sunat.

Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa hiwalah itu tidak sejalan dengan qias, karena hal itu sama saja jual beli utang dengan utang, sedangkan jual beli utang dengan utang itu terlarang. Pendapat ini dibantah oleh Ibnul Qayyim, ia menjelaskan bahwa hiwalah itu sejalan dengan qias, karena termasuk jenis pemenuhan hak, bukan termasuk jenis jual beli. Ibnul Qayyim mengatakan, “Kalaupun itu jual beli utang dengan utang, namun syara’ tidak melarangnya, bahkan ka’idah-ka’idah syara’ menghendaki harus boleh…dst.”

Di Indonesia Hiwalah telah ditetapkan peraturannya oleh pemerintah melalui FATWA MUI dengan FATWA DSN NO, 12/ DSN – MUI/ 1V/2000 tentang rukun hiwalah:

  1. Rukun hawalah adalah muhil, yakni orang yang berutang dan sekaligus berpiutang, muhal atau muhtal, yakni orang berpiutang kepada muhil, muhal ‘alaih, yakni orang yang berutang kepada muhil dan wajib membayar utang kepada muhtal, muhal bih, yakni utang muhil kepada muhtal, dan sighat (ijab-qabul).
  2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
  3. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.
  4. Hawalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/muhtal, dan muhal ‘alaih.
  5. Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara tegas.
  6. Jika transaksi hawalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat hanyalah muhtal dan muhal ‘alaih; dan hak penagihan muhal berpindah kepada muhal ‘alaih.

Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

 

  1. Syarat Hiwalah

Didalam bukunya Sayyid Sabiq syarat sah hiwalah ada empat yaitu:

  1. Ada kerelaan muhil (orag yang berhutang dan ingin memindahkan hutang)
  2. Ada persetujuan  dari muhal (orang yang member hutang)
  3. Hutang yang akan dialihkan keadaannya masih tetap dalam pengakuan
  4. Adanya kesamaan hutang muhil dan muhal ‘alaih (orang yang menerima pemindahan hutang) dalam jenisnya, macamnya, waktu penangguhannya dan waktu pembayarannya.Dengan hiwalah hutang muhil bebas.

rukun hiwalah menurut mazhab maliky adalah:[3]

  1. Orang yang memindahkan utang ( muhil)
  2. Hutang yang di pindahkan ( muhal bih)
  3. Ijab dan Kabul ( shighat)

muhal adalah orang yang berpiutang atau memberi pinjaman kepada muhil, muhil berpiutang kepada muhal alaih namun juga berhutang kepada muhal. Sedangkan muhal alaih adalah orang yang berhutang kepada muhil, bila hiwalah dilaksanakan posisinya tinggal antara muhal dan muhal alaih. Pihak yang berpiutang dan pihak yang harus membayar utang[4]

Contoh:

Ali mempunyai sejumlah hutang kepada Abu Bakar. Sedang Abu Bakar mempunyai sejumlah hutang pula kepada Umar, menurut jumlah yang sama. Oleh kerana Abu Bakar tidak mampu untuk membayar hutangnya, maka Bakar berunding dengan Ali supaya hutangnya itu diminta saja kepada Umar. Dalam hal ini, maka Umarlah yang akan berhubungan langsung dengan Ali, sedang Abu Bakar terlepas dari tanggung jawab hutang

Maka Ali dinamakan Muhtal (dipindahkan haknya). Sedangkan Abu Bakar dinamakan Muhil (memindahkan hak). Sementara Umar pula dinamakan Muhal alaih ( menanggung hak) [5]

 


 

  1. Syarat  Sahnya Hiwalah

A.      Syarat muhil

  • Muhil harus aqil dan baliq , hiwalah yang dilakukan oleh orang yang mengalami ngangguan jiwa dan anak yang belum berakal adalah tidak sah. Karena akal merupakan syarat dalam bertindak.
  • Adanya kerelaan muhil, kalau muhil dipaksa maka hawalah tidak syah.
  1. Syarat muhal
  • Muhal harus aqil( berakal sehat) karena Kabul merupakan salah satu rukun dalam akad hiwalah. Seorang yang tidak berakal tidak boleh melakukan akad,dari  muhal juga di syaratkan sudah balig, bila ia belum balig maka di perlukan  adanya izin dari walinya.
  • Adanya kerelaan muhal, tidak sah hawalah bila muhal di paksa
  • Qabul muhal , harus pada majelis hawalah, seandainya muhal tidak berada dalam majelis akad, lalu berita akd itu sampai kepadanya, ia boleh menolak, sehingga akad itu tidak sah.[6]
  1. Syarat muhal bih
  • Adanya hutang muhal alaih kepada muhil, kalau tidak ada hutang dalam hal ini, maka akad yang dilakukan itu adalah sebagai wakalah bukan  sebagai hawalah
  • Hutang harus sesuatu yang lazim atau mengikat, setiap hutang yang tidak sah kafalah (jaminan) nya, maka tidak sah pula untuk dijadikan hawalah.
  • Adanya hutang muhal alaih kepada muhil sebelum akad tidak dianggap sebagai syarat sah hawalah bagi ulama mazhab hanafi. Hawalah dianggap sah, baik ada hutang muhal alaih kepada muhil atau pun tidak.

 

  1. Jenis – Jenis  Hawalah
  2. Hawalah muthlaqah

Ini terjadi jika seseorang memindahkan hutangnya agar ditanggung muhal alaih, sedangkan ia tidak mengaitkannya dengan hutang piutang mereka, sementara muhal alaih menerima hawalah tersebut.

Ulama selain mazhab hanafitidak membolehkan hiwalah semacam ini. Sebagian ulama berpendapat pengalihan utang secara muthlaq ini termasuk kafaah madhdah  (jaminan), untuk itu harus didasarkan ketiga belah pihak, yaitu orang yang mempunyai piutang, orang yang berhutang dan orang yang menanggung utang.

  1. Hawalah muqayyadah

Ini terjadi  jika orang yang berhutang memindahkan beban hutangnya tersebut pada muhal alaih dengan mengaitkannya pada hutang muhal alaih padanya.inilah hawalah yang dibolehkan berdasarkan kesepakatan ulama. Namun kedua macamhiwalah tersebut dibolehkan berdasarkanhadist nabi yang diriwayatkan oleh abu hurairah

  1. Hawalah al haq

Pemindahan hak atau piutang dari seorang pemilik piutang lainnya biasanya itu dilakukan bila pihak pertama mempunyai hutang kepada pihak kedua ia membayar utangnya tersebut  dengan piutannya pada pihak lain. Jika pembayaran barang/ benda, maka perbuatantersebut dinamakan sebagai hawalah hak. Pemilik piutang dalam hal ini adalah muhil, karena dia yang memindahkan kepada orang lain untuk memindahkan haknya

  1. Hawalah al dain

Lawan dari lawan al haq. Hawalah ad dain adalah pengalihan utang dari seorang penghutang  kepada penghutang lainnya. Ini dapat dilakukan karena penghutang pertama masih mempunyai piutang pada penghutangkedua. Muhil dalam hawalah ini adalah orang yang berutang, karena dia memindahkan kepada orang lain untuk membayar hutangnya. Hiwalah ini di syariatkanberdasarkan kesepakatan ulama

  1. Hukum Yang Terkait  Dengan Hawalah

Apabila hawalah telah dilaksanakan dan berjalan sah, maka tanggungan muhil menjadi gugur. Andaikata muhal alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hawalah, atau meninggal dunia , muhal tidak boleh lagi menuntut muhil, demikian pendapat mayoritas ulama.

namun  sebagian ulama lain mengatakan, bahwa orang  yang menghutangkan, bahwa orang yang menghutangkan ( muhal) dapat kembali lagi kepada muhil , seandainya muhal alaih meninggal dunia, bangkrut, atau mengingkari hawalah.

Sebagian ulama berpendapat  jika muhil telah menipu muhal, karena ia meng hiwalahkan kepada orang yang kafir, maka tanggungan muhil kepada muhal tidak gugur. Muhal boleh menagih kembali kepada muhil untuk mengembalikan piutangnya.

Muhal mempunyai kewenangan untuk menuntut atau menagih muhal alaih atas hutang muhilkepada muhal. Alasannya hawalah adalah mengalihkan utang kepada muhal alaih dengan hutang yang dalam tanggungannya.

  1. Berakhirnya  Hawalah

Berakhirnya hawalah karena beberapa hal

  1. Fasakh. apabila akad hiwalah telah fasakh ( batal) , maka hak muhal untuk menuntut utang kembali kepada muhil, pengertian fasakh dalam istilah fukaha adalah berhentinya akad sebelum tujuana akad tercapai.
  2. Hak muhal ( utang) sulit untuk dapat kembali karena muhal alaih meninggal dunia, boros, ( safih) atau lainnya, dalam keadaan semacam ini dalam urusan penyelesaian utang kembalikepada muhil. Pendapat ini dikemukakan oleh hanafiah, akan tetapi menurut malikiyah, syafi’iah, hanabilah. Apabila akad hiwalah sudah sempurnadan hak sudah berpindah serta di setujuioleh muhal maka hak penagihan tidak kembali kepada muhil, baik hak tersebut bisa dipenuhi atau tidak karena meninggalnya muhal muhal alaih atau boros. Apabila dalam pemindahan utang tersebut terjadi gharar (penipuan) menurut malikiyah, hak penagihan utang kembali kepada muhil.
  3. Penyerahan harta oleh muhal alaih kepada muhal.
  4. Meninggalnya muhal atau muhal alaih mewarisi harta hiwalah.
  5. Muhal menghibahkan hartanya kepada muhal alaih dan ia menerimanya
  6. Muhal menyerahkan hartanya kepada muhal alaih dan dia menerimanaya
  7. Muhal membebaskan muhal alai

 

  1. Hikmah dan Dalil Disyariatkannya Hiwalah

Hiwalah ini disyari’atkan oleh Islam dan dibolehkan olehnya karena adanya masalahat, butuhnya manusia kepadanya serta adanya kemudahan dalam bermuamalah. Dalam hiwalah juga terdapat bukti sayang kepada sesama, mempermudah muamalah mereka, memaafkan, membantu memenuhi kebutuhan mereka, membayarkan utangnya dan menenangkan hati mereka.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap)-cet. 51-,Bandung;Sinar Baru Algensindo,2011

http://mugnisulaeman.blogspot.com/2013/09/makalah-hiwalah.html

http://makalahoke.blogspot.com/2013/06/makalah-al-hiwalah.html

http://pasar-islam.blogspot.com/2010/10/bab-10-hiwalah-pemindahan-utang.html

 

http://pengusahamuslim.com/belajar-fikih-hiwalah-1799#.UkS_zdKnptI

 

 

 

 

 

 

[1] Hendi suhendi , fiqih muamalah. ( Jakarta: raja grafindo persada 2002) hlm 99

[2] Ahmad wardi muslich fiqih muamalah (Jakarta: AMZAH 2010)hlm 448

[3] Moh zuhri dipl, terjemah fiqih empat mazhab ( semarang: asy syifa, 1994) hlm 363

[4] Muhammad syafi,I Antonio, bank syariah wacana ulam adan cendekiawan ( Jakarta : 1999) hlm 202

[5]http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/13/ fi

[6]ibid

Tentang hurie

Orang desa yang mencoba belajar technologi
Pos ini dipublikasikan di KULIAH. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar